Rabu, 09 April 2008

3. Pekalah untuk melihat peluang

Cara melihat peluang :
1.Belum ada menjadi ada
Harapan Anto berbuah hasil. Tak perlu menunggu lama, pesanan pertamanya diperolehnya dari Jepang. Pesanan yang nantinya akan dikirim ke Brazil ini ternyata berbentuk pakaian dalam wanita yang khusus digunakan pada musim panas.
Bingung ! Itulah kata yang tepat dalam mengambarkan keadaan Anto saat itu. Ia sama sekali tak tahu cara membuat pakaian dalam wanita dari kulit ular. Pasalnya dia hanya belajar membuat tas, sepatu, dan dompet. Meski begitu, Anto tetap berusaha. Segala macam jenis kulit ular dicoba.

Menurut Anto, saban bulan ia meraup omzet sekitar Rp. 250 juta. Anto mengaku bahwa bisnis kulit ular ini benar-benar baru baginya. “Saya juga baru tahu kulit ular bisa dijadikan pakaian dalam,” ujar pemilik perusahaan bernama Scano Exotic ini.
Merunut ke belakang, ternyata Anto terjun ke bisnis kerajian kulit ini tanpa sengaja. Mulanya, ia berkerj sebagai konsultan hokum bagi investor asing yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia. Ketika salah satu klien meminta Anto mencarikan pemasok kerajinan kulit ular.

2.Sulit menjadi mudah
Stefanus Susanto, pemilik Guten Braun, telah memajang dagangannya sekitar 2.000 item. Pendapatannya dari toko ritel sebesar 30-50 juta per bulan. Kini Stefanus punya pelanggan dari beberapa gerai terkenal. Sebutlah Bread Story, Hotel Ibis, Hotel Mulia, dan beberapa hotel di Bali memesan secara rutin.
Awalnya, Stefanus tak berpikir untuk berbisnis. Cuma, anak bontot dari lima bersaudara ini iri melihat kakak-kakaknya telah sukses membuka bisnis sendiri. Kepincut oleh pengalaman sang kakak, Stefanus memutuskan meninggalkan kerjaan yang terbilang mapan di bank.
Ia lantas memilih usaha dagang perlengkapan pembuatan kue (pastry). “Saat itu di Indonesia alat-alat pastry masih terbilang langka,” ujarnya. Kalaupun ada, peralatannya ini hanya bisa didapat di Pasar Senen, Jakarta Pusat.

3.Mahal menjadi murah
Gerai Fredi, Natasha Skin Care, memang tak pernah sepi dari kunjungan mereka yang tak ingin kehilangan kecantikan. Di Yogya saja dua gerai yang ada bisa merangkul sekitar 700 pengunjung saban hari. Di Surabaya tak kurang dari 400 pengunjung menyambangi Natasha Skin Care setiap hari. Pengunjung di Samarinda, Pontianak, Solo dan Medan pun lumayan. Gerai-gerai di setiap kota itu sudah mampu meraup sekitar 200 pengunjung setiap hari.
Bagi Fredi, perawatan wajah adalah perkawinan bisnis dan medis. “60% medis, sisanya marketing !” tandasnya. Seiring perjalanan waktu, bersama Tantri, Fredi mengembangkan Natasha Skin Care di beberapa kota di Indonesia. Pasar yang dibidik cukup lebar , karena Fredi memasang harga yang terjangkau untuk semua kelas. Dari harga Rp. 30.000-Rp. 40.000 per produk, hingga Rp. 100.000 per paket, tersedia untuk kelas mahasiswa.

4.Jelek menjadi bagus
Kalau dihitung-hitung, sekarang ia mempunyai 3.000 klien. Untuk melayani pengiriman dokumen dari ribuan klien itu, Budiyanto mengerahkan 2.000 sepeda motor, puluhan mobil, dan lebih dari 2.700 karyawan di seluruh Indonesia.

Biarpun berangkat dari usaha city courier, bisnis Budiyanto sudah berkembang ke mana-mana. Budiyanto sudah punya cabang di semua ibukota provinsi di Indonesia.
Nama Nusantara Card Semesta, alias NCS, boleh jadi terdengar aneh di telinga Anda. NCS adalah salah satu di antara sederetan perusahaan kurir yang belakangan ini tumbuh bak jamur di musim hujan. Biar begitu, hanya segelintir perusahaan yang dipercaya mengantarkan kartu kredit atau dokumen perbankan lain yang dianggap penting dan rahasia. “Kalau untuk pengiriman kartu kredit, perusahaan city courier harus punya lemari besi sendiri,” ujarnya.
Selain itu, control terhadap kurir pun sangat ketat. Maka, “Tidak semua perusahaan bisa melayani perbankan,” sambung lelaki usia 40 tahun ini.
Nah, celah itulah yang lantas dibidik oleh Budiyanto. Saat ini, kata Budiyanto, hampir semua divisi kartu kredit bank di Indonesia menggunakan jasa NCS untuk pengiriman dokumen.

5.Tidak life style menjadi life style
Menurut Roy Sembel, J.CO mampu mengubah wajah bisnis donat yang selama ini ada di Indonesia. Tampil dengan konsep open kitchen (dapur terbuka), yang memungkinkan konsumen menyaksikan langsung pembuatan donat, memberi pengalaman lain kepada konsumen. Hal senada diucapkan Yuswohady. Ia melihat J.CO sanggup mendobrak pakem sebagai merek lokal yang mampu bersaing dengan merek global. “Selama ini kan yang menggebrak biasanya global brand,” kata Yuswohady.
Daniel Surya, chief representative Landor Indonesia, perusahaan jasa branding, pun sepakat bahwa J.CO Donuts memang pantas disebut sebagai salah satu produk paling berpengaruh tahun ini. “Yang istimewa adalah penciptaan mereknya sebagai merek lokal yang bersaing dengan merek global,” kata Daniel yang juga direktur Young and Rubicam Brands ini. Selain itu, tambahnya, J.CO berhasil mengubah pandangan orang terhadap donat, yaitu menjadi makanan selingan yang layak dibeli, meski mereka harus antre untuk mendapatkannya.

Keinginan untuk memasuki bisnis donat, menurut Johnny Andrean, presdir PT J.CO Donuts & Coffee, sebenarnya sudah ada sejak lima tahun lalu, jauh sebelum ia membeli BreadTalk, waralaba toko roti asal Singapura. Kala itu, ia ingin masuk ke bisnis donat tanpa harus menjadi bayang-bayang pemain dan merek yang sudah ada.
Intinya, suami Tina Andrean, seorang perancang gaun pengantin, ini ingin membuat dan menciptakan pasar sendiri lewat inovasi yang diberikan pada donatnya. Mulai dari donatnya yang dibuat lebih lembut dan punya banyak pilihan rasa, hingga penyajiannya yang dibuat fresh (langsung) dari oven dalam keadaan hangat.
“Saat J.CO hadir, belum ada satu pun donat yang fresh from the oven,” kata pria yang juga pemilik jaringan Salon Kecantikan Johnny Andrean ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar